ANAK KARTUN
Setumpuk gambar lunglai
dieja menjadi tubuh
tumbuh menjadi kuku
kucing bersenyawa dengan nyawa
maka tak pernah mati
“Jangan terlalu serius dengan dunia kartun!” kata Ayah
“Dunia tanpa nyawa” katanya lagi
“Kucing menjadi lawan sekaligus kawan bagi tikus” Ia lebih serius
Aku semakin sedih
dia sungguh tidak mengenal lagi aku.
bukankah aku anak kartun.
dieja agar tak pernah lunglai
Ida Bagus Darmasuta, 2008
Welcome
Laman ini saya manfaatkan sebagai ajang "unjuk seni" yaitu, salah satu cara saya untuk menunjukkan apresiasi terhadap kesenian, terutama aktivitas berkesenian di Bali. Sebagai manusia biasa, saya merasa bahwa saya tidak mungkin melepaskan diri dari seni. Saya tidak menyangka tiba-tiba timbul dorongan untuk melukis, sekali waktu timbul keinginan untuk membuat ukiran, patung, Pada kesempatan yang lain saya ingin bermain musik atau membaca karya sastra. Semua itu saya lakukan karena semata-mata tidak ingin membendung desakan yang datang dari dalam diri saya. Semua desakan itu saya biarkan mengalir hingga melahirkan karya. Saya tidak terlalu memikirkan nilai karya. Karena penilaian datangnya dari luar bukan dari diri saya sendiri. Karya yang sudah ada saya kumpulkan, saya ingin membagi apresiasi pada Anda sambil saya terus berkarya selama masih ada dorongan nurani seni pada diri saya.
26.9.10
TEROMPET
baru saja tahun berganti
masih sisa bau mesiu
aroma bir di bibir
suara terompet jadi parau
sesudah lewati waktu
terompet kemarin hilang suara hari ini
kesadaran pertama di tahun ini
adalah tarot dan garis nasib
keberuntungan sembilan di tangan
kesadaran terompet
mengundang angin binasa
rontokkan tempat-tempat tersuci
kapalmu hilang di lidah puting beliung
semakin jelas
angin malas berkabar
di hutan pesawatku berteduh?
entah tersungkur dipeluk laut
tahun berlalu
terompet kapal bertalu-talu
pesawatku menderu
lalu sendu
ternyata tangis mengintip
dari celah suara
pada setiap gelak yang terlalu pekak di telinga
sungguh sulit jelaskan asal air mata
Ida Bagus Darmasuta, 2008
baru saja tahun berganti
masih sisa bau mesiu
aroma bir di bibir
suara terompet jadi parau
sesudah lewati waktu
terompet kemarin hilang suara hari ini
kesadaran pertama di tahun ini
adalah tarot dan garis nasib
keberuntungan sembilan di tangan
kesadaran terompet
mengundang angin binasa
rontokkan tempat-tempat tersuci
kapalmu hilang di lidah puting beliung
semakin jelas
angin malas berkabar
di hutan pesawatku berteduh?
entah tersungkur dipeluk laut
tahun berlalu
terompet kapal bertalu-talu
pesawatku menderu
lalu sendu
ternyata tangis mengintip
dari celah suara
pada setiap gelak yang terlalu pekak di telinga
sungguh sulit jelaskan asal air mata
Ida Bagus Darmasuta, 2008
SEEKOR CECAK MATI TERJEPIT PINTU
Suara cecak suara jejak
mata-mata sang dewi
rahasia dibenarkan atas persetujuannya
cak…cak…cak…cak…cak…Hyang Saraswati…
suara menjadi bunyi
bunyi semestinya arti
arti sembunyi di religi
Sedekat itukah relegi akrabi suara pintu hati?
Suara pintu suara hantu
seekor cecak mati terjepit pintu
menjadi hantu
menjebak para pemuja suara.
suara cecak jadi suara semua
semua jadi cecak
Suara cecak suara seorang lelaki
di balik jubah tersembunyi kitab suci
mahir ujarkan petuah dari seribu mimpi
hapal bait puisi dan wewangi dupa
namun sulit bedakan tuak dengan tuah
keduanya lentur di tutur
keduanya akhirnya dengkur
Seekor cecak mati terjepit pintu
Dan aku tidak pernah lagi rindu suaramu.
Ida Bagus Darmasuta 2008
Suara cecak suara jejak
mata-mata sang dewi
rahasia dibenarkan atas persetujuannya
cak…cak…cak…cak…cak…Hyang Saraswati…
suara menjadi bunyi
bunyi semestinya arti
arti sembunyi di religi
Sedekat itukah relegi akrabi suara pintu hati?
Suara pintu suara hantu
seekor cecak mati terjepit pintu
menjadi hantu
menjebak para pemuja suara.
suara cecak jadi suara semua
semua jadi cecak
Suara cecak suara seorang lelaki
di balik jubah tersembunyi kitab suci
mahir ujarkan petuah dari seribu mimpi
hapal bait puisi dan wewangi dupa
namun sulit bedakan tuak dengan tuah
keduanya lentur di tutur
keduanya akhirnya dengkur
Seekor cecak mati terjepit pintu
Dan aku tidak pernah lagi rindu suaramu.
Ida Bagus Darmasuta 2008
PROSESI OMBAK
Prosesi ombak
bocah bocah iringi para pitara
menyisir pantai
kaki di pasir, kakiku
tangan ke air, tanganmu
senantiasa tak pernah jelas batas air dengan pantai
seperti tak pernah sekalipun sama wajud ombak rayapi pasir
laut misteri
misteri lautkan pitara ke dasar samudra
ibu pernah ingatkan aku “ Jangan mempermainkan ombak!”
karena dia bisa murka dan menyeretmu
hingga ke palung biru
jangan permainkan gelombang yang hampiri pantai
karena dia sedang menyeka peluh bumi
urusan ombak belum usai
maka selalu gentayangan
di pasir waktu
Prosesi pantai
Aku antarkan ibuku
ke gelombang tertinggi pantai Seseh
kali ini urusan ibu sudah usai
merangkai sesaji daun beringin bagi dirinya
Aku berjanji suatu hari nanti akan kutimba wajahmu
dengan tali beringin yang tersisa
kureka menjadi wajah anak-anakku
Ida Bagus Darmasuta, 2007
Prosesi ombak
bocah bocah iringi para pitara
menyisir pantai
kaki di pasir, kakiku
tangan ke air, tanganmu
senantiasa tak pernah jelas batas air dengan pantai
seperti tak pernah sekalipun sama wajud ombak rayapi pasir
laut misteri
misteri lautkan pitara ke dasar samudra
ibu pernah ingatkan aku “ Jangan mempermainkan ombak!”
karena dia bisa murka dan menyeretmu
hingga ke palung biru
jangan permainkan gelombang yang hampiri pantai
karena dia sedang menyeka peluh bumi
urusan ombak belum usai
maka selalu gentayangan
di pasir waktu
Prosesi pantai
Aku antarkan ibuku
ke gelombang tertinggi pantai Seseh
kali ini urusan ibu sudah usai
merangkai sesaji daun beringin bagi dirinya
Aku berjanji suatu hari nanti akan kutimba wajahmu
dengan tali beringin yang tersisa
kureka menjadi wajah anak-anakku
Ida Bagus Darmasuta, 2007
TIBA-TIBA SUDAH TIBA
duduk di sini
sorot matanya kiri kanan
di depan pelinggih kiwa- tengen
Kau tak lagi mendengar apa yang ingin kaudengar
kau tak lagi gundah lantang ditikam umpatan
tak risau apa pun tentang risau
Kau mengatasi makna
duduk di sini
di panas api
aku ingin tidak merasa bara hati
di dingin air
aku ingin tak gigil nyali
aku akan sempurna rasa
di puncak tertinggi
gunung Agung tidak berpihak
pada terik matahari juga binar bintang dan rembulan
semua sinar menjadi kemilau di vibrasi Besakih
tiba-tiba sudah tiba
berserah di kiwa
berserah di tengen
Ida Bagus Darmasuta, 2007
duduk di sini
sorot matanya kiri kanan
di depan pelinggih kiwa- tengen
Kau tak lagi mendengar apa yang ingin kaudengar
kau tak lagi gundah lantang ditikam umpatan
tak risau apa pun tentang risau
Kau mengatasi makna
duduk di sini
di panas api
aku ingin tidak merasa bara hati
di dingin air
aku ingin tak gigil nyali
aku akan sempurna rasa
di puncak tertinggi
gunung Agung tidak berpihak
pada terik matahari juga binar bintang dan rembulan
semua sinar menjadi kemilau di vibrasi Besakih
tiba-tiba sudah tiba
berserah di kiwa
berserah di tengen
Ida Bagus Darmasuta, 2007
GILIMANUK-PADANGBAI
Kau tambatkan dua perahu
di dua pelabuhan
beda arus
dari Padangbai ke timur menantang matahari
mengelap silau tradisi
dari Gilimanuk ke barat menggulung angin
tak kenal pekat topan
di perjalanan debu
sudah terlanjur kulepas tali pengikat
karena hidup pilih mengalir
ke arah arus purnama
Derasnya memutar
melingkar di palung waktu
Jika kau tenangkan aku sejenak
boleh kupilih berbagi kejernihan
agar tak terlalu jauh jarak asalku
Ida Bagus Darmasuta, 2007
Kau tambatkan dua perahu
di dua pelabuhan
beda arus
dari Padangbai ke timur menantang matahari
mengelap silau tradisi
dari Gilimanuk ke barat menggulung angin
tak kenal pekat topan
di perjalanan debu
sudah terlanjur kulepas tali pengikat
karena hidup pilih mengalir
ke arah arus purnama
Derasnya memutar
melingkar di palung waktu
Jika kau tenangkan aku sejenak
boleh kupilih berbagi kejernihan
agar tak terlalu jauh jarak asalku
Ida Bagus Darmasuta, 2007
17.9.10
PEMBURU
Menembus jejeran batangbatang di hutan perburuan
Aku menjadi tonggak dikangkangi pohon hidup seusia bumi
begitu banyak titik sasaran bahkan di pelupuk mata
pastikan ini bagianku
kan kucari di tengahnya
di titik penghabisan
Biar kubentangkan busur sederas arus samudra selurus mata hati
Pastikan ini bagianku
Aku bukan Arjuna, anugerah pusaka di pertapaan perang
Aku bukan Lubdhaka, hilang dosa di yoga Ciwa
Aku pemburu menggigil diburuburu indah
Bagaimana menangkap tanpa terungkap
Justru indah
hulu yang mengairi akar-akar rasa
panah dari busur kecerdasan
Berburu
sebelum
jadi
abu
mu
?
Ida Bagus Darmasuta, 2007
Menembus jejeran batangbatang di hutan perburuan
Aku menjadi tonggak dikangkangi pohon hidup seusia bumi
begitu banyak titik sasaran bahkan di pelupuk mata
pastikan ini bagianku
kan kucari di tengahnya
di titik penghabisan
Biar kubentangkan busur sederas arus samudra selurus mata hati
Pastikan ini bagianku
Aku bukan Arjuna, anugerah pusaka di pertapaan perang
Aku bukan Lubdhaka, hilang dosa di yoga Ciwa
Aku pemburu menggigil diburuburu indah
Bagaimana menangkap tanpa terungkap
Justru indah
hulu yang mengairi akar-akar rasa
panah dari busur kecerdasan
Berburu
sebelum
jadi
abu
mu
?
Ida Bagus Darmasuta, 2007
16.9.10
PANGRUPAK
Seluas tanah yang segera menjelma kota
mengerang pangrupak di timbunan waktu
tangan siapa mengeras dalam tahta kayu ?
gagangnya membekas tangan kata
Seluas tanah yang segera menjelma peradaban
Tertimbun garis aksara di ladang persemadian
Tanganmukah yang akan menggapai
Lalu mencuci di setiap kesempatan kelu?
Memintal sejarah jadikan permadani jalan rasa
Dirajut pada lontar, daun tumbuh di pagi pertama
Pikiran merekah dan jiwa bercumbu dengan dewi kata
Kemudian pengrupak menggores jelas menjadi arah
Ini setelahnya, mengapa hanya menjadi tonggak tulang
Hanya daging dibalut kulit
Jiwa entah ke mana
Kemanusiaan entah apa
harkat ada di tumpukan mimpi-mimpi
Pangrupak mengkarat
Sekarat dielus anak cucu
Ida Bagus Darmasuta, 2007
Seluas tanah yang segera menjelma kota
mengerang pangrupak di timbunan waktu
tangan siapa mengeras dalam tahta kayu ?
gagangnya membekas tangan kata
Seluas tanah yang segera menjelma peradaban
Tertimbun garis aksara di ladang persemadian
Tanganmukah yang akan menggapai
Lalu mencuci di setiap kesempatan kelu?
Memintal sejarah jadikan permadani jalan rasa
Dirajut pada lontar, daun tumbuh di pagi pertama
Pikiran merekah dan jiwa bercumbu dengan dewi kata
Kemudian pengrupak menggores jelas menjadi arah
Ini setelahnya, mengapa hanya menjadi tonggak tulang
Hanya daging dibalut kulit
Jiwa entah ke mana
Kemanusiaan entah apa
harkat ada di tumpukan mimpi-mimpi
Pangrupak mengkarat
Sekarat dielus anak cucu
Ida Bagus Darmasuta, 2007
KATARSIS API
Jasad di pembaringan api ditangisi luka sendiri
Sebentar lagi menjadi pertiwi,
Menjadi apah,
menjadi teja,
menjadi bayu,
membumbung akasa
gigitan api sejengkal-sejengkal mengingatkan karma
sakitnya sejak bermula kelahiran
sudah berapa peristiwa diputuskan
ada yang teringat
tapi cenderung murung digulung mendung
inilah sejarah yang dipatri sendiri
kembali ke api
katarsis api
agar semua bersih mencari tempat sembunyi
Ida Bagus Darmasuta 2007
Jasad di pembaringan api ditangisi luka sendiri
Sebentar lagi menjadi pertiwi,
Menjadi apah,
menjadi teja,
menjadi bayu,
membumbung akasa
gigitan api sejengkal-sejengkal mengingatkan karma
sakitnya sejak bermula kelahiran
sudah berapa peristiwa diputuskan
ada yang teringat
tapi cenderung murung digulung mendung
inilah sejarah yang dipatri sendiri
kembali ke api
katarsis api
agar semua bersih mencari tempat sembunyi
Ida Bagus Darmasuta 2007
11.9.10
JAGABAYA BALI
Kain poleng hitam- putih untuk jaga tanahmu
Keris runcing luk tujuh kabinawa
Wajah sangar taksu api sang jaga baya
Siapa dijaga mengapa menjaga
hitam putih
namun tetap juga tipis jarak wibawa dengan keangkuhan
hitam lalu kuasa
putih hanya tinggal di mata
Aku semakin tidak paham mengapa matamu masih menikamnikam
Kain loreng merah- hitam antara arang dan bara
Destar lancip pecalang menantang langit
Musuh dari penjuru mata angin
Dia hitam karena panas
dia merah nganga terluka
Di sini aku takkan menjaga
Karena tanahku sudah arang di setiap sendi
saudaraku sudah darah di setiap tiang
Dewataku seputih kapur sirih di setiap lirih
Kita hanya perlu mamakuh kukuh bangunan hati
Ida Bagus Darmasuta 2005
Kain poleng hitam- putih untuk jaga tanahmu
Keris runcing luk tujuh kabinawa
Wajah sangar taksu api sang jaga baya
Siapa dijaga mengapa menjaga
hitam putih
namun tetap juga tipis jarak wibawa dengan keangkuhan
hitam lalu kuasa
putih hanya tinggal di mata
Aku semakin tidak paham mengapa matamu masih menikamnikam
Kain loreng merah- hitam antara arang dan bara
Destar lancip pecalang menantang langit
Musuh dari penjuru mata angin
Dia hitam karena panas
dia merah nganga terluka
Di sini aku takkan menjaga
Karena tanahku sudah arang di setiap sendi
saudaraku sudah darah di setiap tiang
Dewataku seputih kapur sirih di setiap lirih
Kita hanya perlu mamakuh kukuh bangunan hati
Ida Bagus Darmasuta 2005
TANYAKU TIRTA EMPUL
Inikah air mata para bidadari
genangi kaki para dewa sembilan mata angin
untuk membasuh mala pendosa, pendosa?
Berapa yang telah membasuh di sini, pancuran purba?
Siapa kenali diri meruwat dengan airmu?
Inikah air mata sang Dewiku
Tetesi syair para kawi dalam pertapaan kata
demi menjaga jarak keindahan dari riuh dosa?
Sebait mestinya menjadi airmu
Kuteguk karena dahaga di belantara kota
Siapa lagi meneguk, kemudian pulang perciki darah keturunan?
Ida Bagus Darmasuta, 2005
Inikah air mata para bidadari
genangi kaki para dewa sembilan mata angin
untuk membasuh mala pendosa, pendosa?
Berapa yang telah membasuh di sini, pancuran purba?
Siapa kenali diri meruwat dengan airmu?
Inikah air mata sang Dewiku
Tetesi syair para kawi dalam pertapaan kata
demi menjaga jarak keindahan dari riuh dosa?
Sebait mestinya menjadi airmu
Kuteguk karena dahaga di belantara kota
Siapa lagi meneguk, kemudian pulang perciki darah keturunan?
Ida Bagus Darmasuta, 2005
8.9.10
GENJEK
Irama pentatonik bau tuak tembang ritmik
Peluh berpeluk busa-busa buas mata
Ini hari kau mengumbar lara di tanah tandus
iringi tarian kata-kata tak berwajah
Gending genjek ukir syair nestapa
Kasihani diri di linangan air keras api
Debur syair cintamu tak memberi apa pun pada kemesraan anak-anak
Mereka masih mendayung sendiri perahu luka
Ida Bagus Darmasuta, 2005
Irama pentatonik bau tuak tembang ritmik
Peluh berpeluk busa-busa buas mata
Ini hari kau mengumbar lara di tanah tandus
iringi tarian kata-kata tak berwajah
Gending genjek ukir syair nestapa
Kasihani diri di linangan air keras api
Debur syair cintamu tak memberi apa pun pada kemesraan anak-anak
Mereka masih mendayung sendiri perahu luka
Ida Bagus Darmasuta, 2005
TRUNYAN
Pada kabut yang tak pernah jelas bentuk
Kutanam puisi biar tumbuh sebatang kayu
Kutanam hingga berhembus ke celah janji
Tentang anak-anak lereng taru menyan
jasad dingin, nasib sunyi
Kabut menutup air panas hati
Linangan hari masih juga menjaja harga diri
Berharap seperti menawarkan jiwa tak bertuan
riak danau, riak hati
Anak siapa tidur di terik trotoar kotaku?
Tak jelas kulihat menjadi wangi di sela mimpinya
Ida Bagus Darmasuta,2005
Pada kabut yang tak pernah jelas bentuk
Kutanam puisi biar tumbuh sebatang kayu
Kutanam hingga berhembus ke celah janji
Tentang anak-anak lereng taru menyan
jasad dingin, nasib sunyi
Kabut menutup air panas hati
Linangan hari masih juga menjaja harga diri
Berharap seperti menawarkan jiwa tak bertuan
riak danau, riak hati
Anak siapa tidur di terik trotoar kotaku?
Tak jelas kulihat menjadi wangi di sela mimpinya
Ida Bagus Darmasuta,2005
4.9.10
2.9.10
Ketika mengamati sebuah lukisan, saya selalu bertanya "Apa yang ingin disampaikan pelukis dalam lukisannya,. adakah ia ingin menyampaiakan sesuatu yang penting, yang mesti saya apresiasi?" Bagaimana ia melakukan itu semua hanya dalam sebuah kanvas? Memandang lukisan, sering membuat saya kagum. Kagum karena pesan yang disampaikan, kagum, karena teknik yang digunakan, kagum karena komposisi warna dan objek yang disajikan. Saya sering lebih tidak peduli 'siapa' pelukisnya, tapi saya lebih peduli 'apa' lukisannya. Apresiasi saya terhadap lukisan menimbulkan pertanyaan pada diri saya "Apa rasa Lukisan?"
Ongkara Bhasma
karya: Ida Bagus Darmasuta 70x90 cm |
Langganan:
Postingan (Atom)